0

Digital Mindset Guru (2)

Oleh : Prof. Dr. Ir. Eko Indrajit (Ketua PB PGRI SLCC)

Dalam sesi ini prof. Eko menyampaikan materinya dengan judul pola pikir digital atau digital mindset dalam pendidikan abad ke-21 yang mana materi ini sangat dibutuhkan bagi para tenaga pendidik di era sekarang ini. Tanpa berpanjang lebar beliau langsung menyampaikan pada intinya bahwa yang membedakan pendidikan formal dengan pendidikan informal atau nonformal adalah dalam pendidikan formal yang kita lakukan itu ada perancangannya, ada desainnya yang terencana, terstruktur dan sistematis. Pendidikan formal bertujuan meningkatkan potensi peserta didik agar memiliki kemampuan yang telah ditetapkan. Jadi orang suka bertanya apa bedanya orang belajar di youtube, apa bedanya dengan orang belajar di internet dan lain sebagainya? Semua orang bisa belajar dari mana saja dan kapan saja. Menurut beliau yang terpenting adalah bagaimana merubah mindset atau pola pikir kita.

Sebenarnya posisi IT itu ada dimananya? Kalau kita tanya apa sih definisi pembelajaran, maka bapak ibu guru pasti bisa tahu bahwa pembelajaran adalah interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam lingkungan belajar itu adalah definisi dari pembelajaran yang tidak pernah diganti kan dari dulu sampai sekarang. Artinya dalam situasi apa pun anda mau pakai blended, hybrid, project based learning, problem based learning, mau pakai gamification, mau pakai inquiry learning atau ratusan metode pembelajaran yang lain, komponen-komponen tersebut harus ada. Interaksi Antara peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar dalam lingkungan belajar. Jadi kalau di tanya apa yang dimaksud dengan interaksi? jawabannya adalah banyak sekali interaksi. Tatap muka itu cuma salah satu jenis interaksi. Interaksi bisa lewat WA, bisa lewat email, bisa lewat chatting, bahkan interaksi bisa lewat surat menyurat. Seperti zaman dulu, interaksi bisa lewat telegram. Interaksi tidak melulu harus tatap muka, bahkan interaksi juga bisa dengan cara kita baca buku, kita berinteraksi dengan tokoh tokoh buku yang diceritakan oleh yang bersangkutan. Nah kemudian kalau kita bicara pendidik, siapakah pendidik itu? Apakah cuma guru? tidak. Pendidik adalah guru, orang tua masyarakat, kemudian orang di sekitar kita, pemuka agama, saudara kandung, dsb. Artinya setiap orang di bumi ini berpotensi menjadi pendidik.

Berikutnya adalah sumber belajar. Jaman dulu sumber belajar hanya dari buku, tapi sekarang, sumber belajar bisa dari buku, dari internet, dari alam sekitar, dari cerdik pandai, dari orang yang cerita di youtube, dari orang yang sharing di WA, dan itu semua merupakan sumber belajar, unlimited. Nah yang terakhir ini yang namanya lingkungan belajar. Apakah lingkungan belajar hanya di dalam kelas? tidak. Lingkungan belajar bisa di rumah, bisa di mobil, bisa di kebun, bisa di mall, bisa di kendaraan, dan lain sebagainya. Satu yang saya ingin katakan pak james dan ibu tercinta bahwa belajar dengan cara tatap muka di dalam kelas pakai buku, pakai projector dan pakai kapur, papan tulis, itu cuma satu jenis variasi pembelajaran dari ribuan kombinasi dan permutasi yang bisa kita buat.

Jadi kalau sekarang kita lagi kena musibah pandemi, sehingga tidak bisa melakukan tatap muka, tidak bisa ke dalam kelas bersama-sama, Itu hanya kehilangan satu kombinasi pembelajaran. Kita masih bisa menggunakan interaksi model yang lain. Kita masih bisa memakai interaksi dengan pendidik yang begitu banyak. Kita masih bisa memakai lingkungan belajar yang berbeda-beda. Nah, itu harus menjadi mindset kita. Jadi artinya, ketika kita mengalami kesulitan seperti apa pun, kita sebagai guru sejati seharusnya bisa menemukan cara tanpa mengeluh, tanpa persyaratan, karena guru sudah seharusnya kreatif dan inovatif. Apakah nanti kalau tiba tiba internet mati, kita berhenti bisa belajar? Apakah kalau tiba-tiba nanti setiap kali memakai teleconference, semua orang harus membayar termasuk yang melihat, maka kemudian akan berhenti belajar? Apakah kalau tiba tiba nanti tidak ada peraturan dari pemerintah mengenai cara belajar di era yang sulit ini, kita akan berhenti belajar? tidak. Bahwa dalam situasi apapun, guru sejati akan mencari cara untuk bisa memberikan yang terbaik bagi peserta didiknya.

Oleh karena itu, dengan berpedoman bahwa pendidik itu banyak jenisnya, sumber belajar itu banyak jenisnya, kemudian lingkungan belajar itu banyak jenisnya, interaksi itu banyak jenisnya, selanjutnya pertanyaannya adalah apa fungsi kita sebagai seorang guru? Berkali kali prof. eko sampaikan dalam berbagai kesempatan. Guru sekarang naik kelas. Dia tidak lagi sekedar pengajar karena sudah lewat masanya guru sebagai pengajar. Mengapa? karena yang mau diajari sudah ada di internet semua, materi yang mau diberikan ke siswa sudah ada semua di internet. Jadi masa-masa kita sebagai pengajar, memberitahu pengetahuan, sudah tidak lagi dan sekarang guru naik kelas. Jadi peran guru sekarang itu menjadi fasilitator, untuk memfasilitasi diskusi, kita memfasilitasi anak supaya berkembang dan lain sebagainya. Dan masa itu sudah mulai hampir lewat, kenapa? Karena kita tidak bertemu di dalam kelas, kita tidak bertemu di satu kelas, jadi kita harus bersiap naik ke tahap berikutnya yaitu guru sebagai arsitek proses pembelajaran. Apakah makna guru sebagai arsitek proses pembelajaran? Apakah seorang arsitek rumah itu, arsitek gedung, arsitek rumah, arsitek jembatan itu apakah mereka ikut ngaduk semen?Tidak. Apakah mereka ikut numpuk numpuk batu bata?Tidak. Apakah mereka ikut maku maku paku di dinding? Tidak. Apakah mereka ikut nempel nempel wallpaper di dalam ruangan? Tidak. Tapi kok bisa ya? Gedung yang dia gambarkan jadi dengan baik. Rumah yang dia desain jadi dengan baik. Apa rahasianya? itu analogi bagi seorang guru. Kalau arsitek tujuannya adalah membuat gedung, membuat rumah, membuat jembatan yang sudah digambarkan.

Nah guru tujuannya apa? tujuan guru adalah membuat capaian pembelajaran atau tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran atau instructional objective yang sudah ditetapkan. Nah untuk mencapai itu bagimana caranya? Ingat tadi arsitek, dia tidak hang out, tetapi Arsitek bisa jadi rumahnya karena dia merancang dengan bagus. Dia punya strategi mana dulu yang dibangun, kemudian yang mana, kemudian yang mana? Dia punya supervisor, mandor, tukang yang siap menjalankan perintahnya sehari harinya. Satu minggu sekali dia datang ke lapangan untuk melihat secara langsung, apakah tukang dan mandornya benar-benar bekerja atau tidak. Seorang arsitek hanya merancang cara membangun sesuai dengan standar, kemudian hasil rancangannya diserahkan ke orang lain untuk menjalankannya. Dia hanya mengamati menjalaninya betul atau tidak? Kalau ada masalah dia membantu menyelesaikan masalahnya dan jadilah gedung tersebut. Itulah guru sebagai arsitek proses pembelajaran.

Dengan adanya situs yang diberikan oleh acer, dengan adanya konten dan aplikasi yang ada di internet. Dengan dimilikinya pengetahuan pedagogik anda sebagai seorang guru, maka tugas anda menjadi arsitek. Anda yang mengurutkan mana dulu harus dilakukan kemudian yang mana sesekali kita datang menanyakan memberi ujian, melihat apakah peserta didik sudah bisa menjalankan atau belum. Itulah namanya strategi pembelajaran. Anda mau setiap kali sesi pakai metode pembelajaran yang berbeda-beda, tidak ada masalah, karena hybrid yang saya apa yang saya anut bukan hybrid dalam makna sempit. Karena hybrid dalam makna sempit hanya berbicara. Sebagian siswa datang ke sekolah. Sebagian siswa ada di rumah itu hybrid dengan pengertian sempit.

Setelah kegiatan diklat selama dua minggu, peserta harus memiliki filosofi hybrid dengan pengertian yang lebih luas. Hybrid artinya untuk setiap sesi pembelajaran yang anda rancang, metode apa yang paling tepat digunakan, dan itu akan melahirkan berbagai jenis metode yang berbeda untuk setiap sesi yang berbeda. Yang terpenting di akhir sesi beliau, peserta diharapkan sudah bisa mencapai tujuan pembelajaran. Jadi hybrid itu kan kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah campuran atau bauran. Nah itulah yang dimaksud dengan hybrid di sini. Tapi semuanya harus terjadi secara terencana. Nah untuk menjalankan hybrid itu kita punya apa 3 hal yaitu people, proses, dan teknologi. People adalah pendidik. Di rumah ada orang tua. Di sekolah ada guru. Di luar sekolah dan rumah ada masyarakat. Proses adalah metode pembelajarannya itu sendiri. Seperti yang sudah beliau katakan bahwa ada ratusan metode pembelajaran dan pendekatan pembelajaran yang kita kenal ada problem based learning, project based learning, inquiry based learning, gamification, kemudian ada lagi yang namanya apa contextual learning, collaborative learning, cooperative learning, ada seratus lebih itu kalau di sampaikan satu persatu. nah jadi, itu adalah proses.

Yang ketiga adalah teknologi atau tools. Dalam dunia IT, kita mengenal kalau dulu kan tools itu adalah papan tulis, kapur, kemudian alat peraga atau media pembelajaran. Kalau sekarang, tools nya ada hardware, ada software, ada brainware, ada information ware, ada projector, ada smartphone dan banyak macam lainnya. Bahkan tadi disampaikan ada yg virtual reality, ada yang Augmented reality, dan banyak sekali sekarang ribuan tools yang bisa dipakai. Nah jadi kalau diringkas, guru sekarang memiliki kebebasan sebagaimana dikatakan oleh mas menteri. guru sudah memiliki kemerdekaan, merdeka belajar untuk membaur. Membaur, meng-hybrid kan metode mana yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi anda. Karena Indonesia ini heterogen. Heterogen artinya masalahnya heterogen, kebutuhannya heterogen, situasi kondisinya heterogen. Jadi jawabannya tidak mungkin homogen, jawabnya juga heterogen, campuran hybrid nya juga berbeda-beda. Hybrid di Surabaya nanti beda dengan hybrid di Jakarta, beda dengan hybrid di Ambon, beda dengan hybrid di Balikpapan, beda dengan hybrid di Samarinda, beda dengan Aceh dan lain sebagainya. Nah, siapa yang bisa membuat ramuan hybrid yang tepat? yaitu semua peserta diklat yang dalam 2 minggu ini sudah dilatih oleh acer dan PGRI smart learning and character center (slcc). Jadi harapannya setelah 2 minggu usai mengikuti diklat, peserta bisa membuat ramuan hybrid yang tepat untuk setiap sesi pembelajaran yang di rancang. Jadi kalau kita ingin membuat tujuan pembelajaran dari sekarang menuju ke tujuan pembelajaran. Kita punya satu semester. Kita punya beberapa bulan. Nah disitulah kita membuat strateginya, sesi apa dulu, kemudian sesi apa, kemudian sesi apa, kemudian sesi apa atau pembabakan. Nah, setiap sesi itu kita lihat targetnya apa? Peserta didiknya seperti apa?, situasinya seperti apa? pandemi sudah usai atau belum?. Di situlah kita pilih metode yang paling tepat. Itulah yang dimaksud dengan hybrid dalam arti kata lebih luas.

Apa yang disampaikan oleh prof eko bisa digarisbawahi bahwa teknologi dalam dunia pendidikan itu hanya berfungsi untuk membantu memfasilitasi proses pembelajaran agar peserta didik meningkat kompetensinya dan yang menentukan tujuan pembelajaran itu berhasil atau tidak tetap kepada guru sejati yang mampu memberikan pembelajaran terbaik kepada peserta didik dalam kondisi apapun dan tanpa persyaratan dan tanpa mengeluh karena guru-guru itu adalah guru-guru kreatif dan inovatif.

Sebelum mengakhiri sesi, beliau menyampaikan closing statementnya yaitu yang pertama adalah “Ketika guru berhenti belajar, maka pada hakikatnya dia telah berhenti sebagai seorang guru“. Yang kedua hubungannya dengan teknologi. “Guru perannya tidak akan pernah bisa tergantikan oleh teknologi, tetapi guru yang tidak pakai teknologi pelan pelan akan segera tergantikan“.

sumber : DIKLAT PTMT #SESI-1: DIGITAL MINDSET GURU

Channel Youtube Prof Eko : Prof EKOJI Channel

Profil : Richardus Eko Indrajit

fallymedia

Saat ini saya bekerja sebagai tenaga pendidik di SMPN 1 Kedungpring mengampu mata pelajaran B-TIK/Informatika.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *